Resensi Negeri di Ujung Tanduk

April 29, 2014
Lebih cepat dari sekuel pertama nya Negeri Para Bedebah, namun pola nya benar-benar sama. Wawancara, wartawan, Bali, Hongkong, tapi tetap saja cerita Thomas dalam 48 jam itu menarik untuk segera dihabiskan ke halaman terakhir.
Judul: Negeri Di Ujung Tanduk
Penulis: Tere liye
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2013
Jumlah halaman: 360

Sama seperti negeri para bedebah yang pernah saya resensi, keunggulan tentulah pada jalan cerita yang penuh konspirasi. Tapi memang seri ke-2 ini lebih ringan dari pembahasan. Kelemahannya pun masih sama, judul bab yang terlalu to the point. Oh iya,,juga gaya bahasa tokoh-tokohnya yang sama persis. Padahal kan, pemilihan diksi tiap orang harusnya beda-beda. 

3 bintang untuk Negeri di Ujung Tanduk Tere Liye. 

"Selalulah menjadi anak muda yang peduli, memilih jalan suci penuh kemuliaan. Kau akan menjalani kehidupan ini dengan penuh kehormatan."

Resensi Buku #Sharing

April 26, 2014
“When im sharing, I feel alive” tagline blog ini seminggu yang lalu saya ganti karena terinspirasi Pak Handry Satriago penulis buku #Sharing yang baru saja selesai saya baca. Kumpulan kicauan di twitter yang tersusun sistematis dengan hashtag tertentu mampu meng influence saya sebagai followers beliau. Pertama kali saya tahu pak Handry adalah saat sharing knowledge di perusahaan saya. Sebagai pengikut twitter, saya segera tahu Pak Handry sudah membukukan tweetnya saat beliau foto selfie dengan buku yang sampulnya sederhana berwarna biru tua (mirip buku kalkulus jaman kuliah).

Judul: #sharing
Penulis: Handry Satriago
Penerbit: Gramedia
Tahun Terbit: 2014

Buku ini terdiri dari 4 bagian yang masih dipecah lagi dalam bagian-bagian berdasarkan hashtag tweet penulis. Pertama kali saya buka, “wow..benar-benar seperti kultweet ya”. Yaps..penyusunan buku ini sepertinya benar-benar otentik seperti tweet aslinya lengkap dengan numbering. Jadi, bagi pembaca seakan sedang membaca tweet daripada membaca buku. It’s easy, makanya saya jadi bisa santai membacanya dimanapun tanpa harus nunggu moment nyaman. Mungkin karena terbiasa membaca ideas dalam 140 karakter , hehehe. Ini adalah sisi unik dari buku #sharing sekaligus kelemahan juga sih sebenarnya.  Entah sengaja ingin otentik atau malah terlewatkan, saya menemukan banyak typo  (salah tulis huruf). Selain itu, ideas kadang diulang-ulang. Sebenarnya kelemahan ini bukan dari penulis tapi cenderung ke editor.

Jadi, apa yang saya dapat selama 7 hari membaca buku ini? Pelajaran hidup tentunya, semangat, dan beberapa kali tersindir. “wah..ini gue banget Pak..” haha. Sebagai pemuda Indonesia yang baru meniti karir,penjelasan Pak Handry ini seperti langsung ke saya face to face. Sangat aplikatif dan up to date. Banyak hal yang bisa saya terapkan langsung dalam aktivitas pekerjaan saya. Salah satunya adalah presentasi dengan 4 blocker. Beberapa hari yang lalu saya buat report untuk atasan dengan metode itu, dan sore harinya atasan saya yang good boss di mata saya memanggil “Nurul..” “Ya,,Pak”..”Bagus..bagus..presentasi kamu”. Beberapa kebijakan yang disarankan penulis di buku ini sejalan dengan yang sedang dilakukan company tempat kerja saya.

Membaca buku ini kita akan diajak berdialog tentang Indonesia, anak muda,leadership, followership, management, dan tentunya semangat belajar dan berbagi. Buku yang layak dibaca berulang-ulang, nggak Cuma sekali terus lupa esensinya.

Saya berikan 4 bintang untuk #Sharing Pak Handry Satriago. Sayang sekali saat tulisan ini saya buat, buku #sharing belum terdaftar di Goodreads, jadi saya tidak bisa rate dan kasih review di sana.



Kutipan Buku Negeri Para Bedebah

April 17, 2014
Inilah kutipan favorit saya, 

'Jika kalian ingin menarik perhatian seseorang (apalagi 2 orang) dengan level yang sudah terlalu tinggi dibanding kalian, lakukanlah dengan cara ekstrem'.

'Dalam situasi frontal, percakapan terbuka, cara terbaik menanamkan ide di kepala orang adalah justru dengan mengambil sisi terbalik'.

'Dalam sebuah skenario infiltrasi ide, jangan pernah peduli dengan latar belakang lawan bicara kalian'.

'Aku selalu mengambil keputusan, tindakan, aksi, intervensi apa pun namanya, untuk menentukan takdirku sendiri. Tidak ada rumus : > biarkan mengalir apa adanya, apalagi tergantung pada takdir orang lain, menyerahkan nasib pada orang lain'.

Resensi Negeri Para Bedebah

Pantas saja jika buku ini dapat average rating goodreads 4,25 stars. I agree, di negeri para bedebah..kisah fiksi kalah seru dibanding kisah nyata. 

Judul: Negeri Para Bedebah
Penulis: Tere Liye
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2014 (cetakan ke-7)
Halaman: 440


Terlepas dari cerita teman-teman dan kata goodreads, saya berikan 4 bintang. Saya suka baca novel yang nggak gampang ketebak dan detil. Penulis jelaslah punya background yang berkaitan dengan ekonomi, ya dia akuntan. Istilah dan seluk beluk perbankan dipaparkan dengan lugas dan meyakinkan. Entah kalau dibuat film apakah akan seenak saat membacanya. Kejadian  demi kejadian 50 jam dituliskan dengan padat menggunakan bahasa yang mudah dipahami semua kalangan termasuk saya yang bukan dari orang bank atau ekonom. 
Desain sampulnya cukup menarik, bahkan bagi batita yang baru bicara sekalipun. Saya baca buku ini di kereta, dan ada batita yang betul-betul merhatiin sampul dari depan saya. Tapi, penyajian cerita dengan bab-bab kecil disertai judul yang "terlalu jujur" membuat pembaca bisa mengira adegan apa yang tersaji di bab itu. Misal bab "pertarungan di lift", sejak awal pembaca sudah tahu "oh ini nanti endingnya ada bla bla bla di lift". Mungkin harusnya judul dibuat lebih samar. 
Di Negeri Para Bedabah, pembaca diajak mengikuti segala trik dan kejadian penting demi menyelamatkan sebuah bank. Selain itu pembaca juga diajarkan cara negosiasi dan cara berpikir ala pebisnis. Jujur saja sih, setelah membaca novel ini saya jadi agak gimanaaa gitu sama Bank. Ah sudahlah, yang jelas saya rekomendasikan Negeri Para Bedebah buat siapapun.

"Sungguh tidak ada yang bisa menghentikan mereka selain sistem itu sendiri yang merusak mereka."

Review Buku : Fatimah Chen Chen

April 06, 2014
"Yang label nya islami belum tentu nggak vulgar". 

Judul: Fatimah Chen Chen
Penulis: Motinggo Busye
Penerbit: Edelweiss
Tahun terbit: 2014
Halaman: 271
         

Novel mungil ini saya ambil secara random pas event Islamic Bookfair. Karena buku-buku yang saya beli serous dan tebal semua, iseng aja pilih novel yang sepertinya ringan tapi tetap islami.
Kalau baca sinopsisya sih menarik, tentang kisah wanita non muslim lalu jadi mualaf. Orang yang dulunya sempat masuk jurang kenistaan lalu dapat hidayah. 
Tapi, saat saya baca saya kecewa. Seperempat novel saya lalui dengan sensasi "mengambang", tak menyentuh hati dan tak ada hal baru yang membuat saya berkomentar "oh..gitu ya". Pembacaan saya lanjutkan, hingga di halaman 70an...tertulis adegan tak pantas dalam novel islami. Ya..pintar-pintar penulis aja sih sebenarnya dalam menggambarkan ke"mesra"an dan "cinta kasih". Banyak kosakata yang lebih calm, lebih tidak terkesan "nista". Belum lagi tentang konsep poligami, yang mana saya anti banget. Jadi, daripada emosi jiwa mending saya close, tutup, exit, udahan, meski belum sampai halaman terakhir.
Saya beri 1 bintang dari 5 untuk Novel Fatimaj Chen-chen. 

Review Buku ; Titik Nol

April 05, 2014
Tiada kisah cinta yang tak berbubuh noktah, tiada pesta yang tanpa bubar, tiada pertemuan yang tanpa perpisahan, tiada perjalanan yang tanpa pulang. 

Judul: Titik Nol
Penulis: Agustinus Wibowo
Penerbit: Gramedia
Tahun terbit: 2013
Halaman: 556
  

Beberapa teman telah membaca buku ini sejak tahun lalu. Waktu cek di goodreads, ratingnya cukup bagus. Tapi kenapa banyak yang butuh waktu lama menamatkanya? Saya bereskan 500an halaman dalam durasi 8 hari. Tidak menyangka sih, kupikir akan sebulan. Saya selalu penasaran dengan negeri-negeri yang dilewati penulis. Cina, tibet, Nepal, Pakistan, India, Afghanistan, , yang letaknya di peta saja saya samar-samar. Negeri misterius serta selalu diberitakan dengan kemiskinan serta perang. Mungkin rasa penasaran ini yang membuat saya menyelami perjalanan penulis. Dari buku ini juga saya belajar banyak petuah dan filosofi Tionghoa. Pun termasuk jadi tahu ending dari cerita kera sakti, hehehe. 
Saya sangat suka foto-foto berwarna di buku ini. Ekslusif, karena bukan hasil mengunduh di google. Tajam, dan saya dibawa mengerti cerita nyata di balik setiap foto. Gaya penulisan yang menggabungkan cerita masa lalu dan cerita saat ini, tak membuat saya bingung karena batas-batasnya jelas.
Buku ini mirip sekali dengan The Geography of Bliss. Tebalnya, cara penulisannya, negara yang dikunjungi, tapi isinya beda sih. The Geography of Bliss lebih jelas tujuannya, yaitu mencari kebahagiaan. Tulisan terasa penting karena berdasarkan riset penulis. Titik Nol, sebuah catatan perjalanan saja yang kebetulan luar biasa beruntung penulisnya melewati semua itu. Sayang beribu sayang, entah kenapa halaman-halaman buku ini gampang sekali lepas. Saya biasa baca buku tebal, tapi tak ada yang sampai lepas begini halamanya.

Mencari kebahagiaan itu bagaikan ikan muda yang mencari laut. Dia telah berenang dari samudera ke samudera, pantai, pesisir, selat, sampai laguna. Tapi di mana laut? Dia terus mencari, tak juga ketemu. Ikan yang bijaksana menegurnya, memberitahunya bahwa dia sudah berada di laut. Si ikan muda protes: ini bukan laut ! Ini cuma air ! Dia lalu meneruskan perjalanan pencariannya, mencari dan terus mencari. (Hlm.316).

               3 dari 5 bintang untuk Titik Nol.

Auto Post Signature

Auto Post  Signature