Siang itu saya berjalan di pusat Jajanan Kedungwuni, Pekalongan. Ketika saya berhenti di sebuah gerobak tahu gejrot, ternyata penjualnya telah menggunakan transaksi digital. Aneka barcode dari dompet digital tersedia di lapak dagangannya. Yang paling mencolok adalah barcode QRIS yang akhirnya saya gunakan sebagai sarana pembayaran seporsi tahu di sana.
Pernah engga sih kamu lupa bawa dompet lalu merasa sangat tertolong dengan adanya dompet digital. Dan lebih enaknya lagi, sejak 2020 sudah tak perlu khawatir kalau dompet digital kita engga disupport sama mitra tempat kita mau bertransaksi sejak Bank Indonesia menerapkan QRIS (Quick Response Code Indonesian Standard). Ketika pandemi Covid-19 datang, untungnya sistem keuangan di Indonesia sudah semakin inklusif sehingga lebih stabil. Engga kebayang kan kalau semua serba cash sementara akses pergerakan fisik kita dibatasi. Blue print sistem pembayaran 2025 di Indonesia semakin relevan dengan kondisi saat ini.
APASIH KEUANGAN INKLUSIF ITU?
Inklusi
keuangan adalah bagaimana masyarakat Indonesia yang selama ini belum tersentuh
dunia keuangan, akhirnya bisa merasakan hal tersebut. Sedangkan inklusi ekonomi
berarti, bagaimana ekonomi keuangan digital mampu mengembangkan sektor ekonomi,
bahkan termasuk pengembangan usaha mikro kecil menengah (UMKM) yang juga
penyumbang sektor perekonomian.
Pedagang tahu gejrot yang telah menggunakan pembayaran digital
Berbelanja
online maupun belanja offline menggunakan transaksi digital sudah menjadi
bagian dari gaya hidup. Tak hanya bagi kaum milenial pengguna aktif internet,
generasi yang lebih tuapun bisa melakukannya. Jika dulu transaksi keuangan cashless hanya milik orang-orang yang
memiliki rekening bank, saat ini dinding pembatas itu telah dirobohkan.
TRANSAKSI DIGITAL ADALAH BAGIAN DARI LIFESTYLE
Rasanya
aneh jika ada smartphone tak memiliki
aplikasi e-commerce, e-wallet, maupun
m-banking saat ini. Bank Indonesia
mencatat kenaikan transaksi digital atau Uang Elektronik (UE) selama
pemberlakuan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) bulan April 2020 mencapai
64,48 persen secara tahunan. Sementara volume transaksi digital tumbuh 37,35
persen secara tahunan. Transaksi pembayaran menggunakan ATM, kartu debet, kartu
kredit, dan uang elektronik (UE) menunjukkan perbaikan dengan lebih rendahnya
kontraksi pertumbuhan dari 13,94 persen (YoY) pada Juli 2020 menjadi 6,86 persen
(YoY) pada Agustus 2020.
Masih
dari laman resmi Bank Indonesia, Data akumulasi volume transaksi digital pada
2019 mencapai 5,2 miliar transaksi dengan total nominal transaksi Rp145
triliun. Angka ini meningkat tajam dari tahun sebelumnya yang mencapai angka
2,9 miliar transaksi dengan total nominal transaksi sebesar Rp47 triliun.
Pengguna e-commerce di tahun 2020 mencapai lebih dari 138 juta pengguna. Tahun
2019, pengguna e-commerce tercatat sebanyak 118 juta pengguna. Peningkatan ini
bisa dianggap sebagai angin segar bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia khususnya
transaksi digital.
Keuangan
digital berkembang dengan pesat di Indonesia dan memiliki beberapa bentuk
dasar, diantaranya dalam bentuk pembayaran
(digital wallets, P2P payments),
investasi (equity crowdfunding, Peer to
Peer Lending), pembiayaan (crowdfunding,
microloans, credit facilities), asuransi (risk management), lintas proses (big data analysis, predicitive modeling), dan infrastruktur (security).
Keuangan
digital telah memberikan pengaruh terhadap berbagai aspek bisnis. Mulai dari
e-commerce, hotel, pariwisata, asuransi, hingga properti, dan berbagai aspek
lainnya. Melalui sistem keuangan digital, bisnis dapat mengambil keuntungan
melalui pelayanan electronic money,
virtual account, agregator, lending, crowdfunding dan lainnya.
Bank
Indonesia (BI) melalui kebijakan terbarunya telah melakukan reformasi pengaturan sistem pembayaran
melalui penerbitan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No.22/23/PBI/2020 tentang
Sistem Pembayaran (PBI Sistem Pembayaran).
Beleid
ini akan mulai berlaku pada 1 Juli 2021.
Nah, PBI ini antara lain memperkuat aturan mengenai akses ke penyelenggaraan sistem
pembayaran (access policy) hingga pengakhiran
penyelenggaraan sistem pembayaran (exit policy), fungsi BI di bidang sistem
pembayaran, pengelolaan data secara terintegrasi, dan perluasan ruang uji coba inovasi teknologi.
INOVASI TERBARU BANK INDONESIA MENUJU BLUEPRINT SISTEM PEMBAYARAN 2025
“Aduh lupa top up e-wallet”
Seringkali
kita mau scan QRIS eh ternyata saldonya habis. Harus top up dulu, buka
m-banking. Hmmm sudah berapa menit tuh potensi waktu kita terbuang? Belum lagi
kalau aplikasi m-banking kita minta diupdate atau sedang gangguan. Hehe, bikin
kesel ya kan? Ujung-ujungnya pakai cash. Tapi tenang deh, sebentar lagi engga
gitu lagi.
Bank
Indonesia menyiapkan sejumlah inisiatif untuk mendorong perkembangan layanan
keuangan digital yakni Open API, BI Fast, hingga wholesale payment dan FMI. Nah
yang paling dekat dengan aktivitas transaksi keuangan saya adalah Open API dan Fastpayment. Apakah itu?
OPEN API (Application Programming Interface)
Melalui
open API (Application Programming
Interface) pengguna fintech seperti
Gopay, Ovo, Dana, maupun layanan lainnya dapat melakukan transaksi tanpa
melakukan top up. Transaksi di fintech
dapat dilakukan dengan mengambil dana yang ada di rekening bank manapun. Ini
akan memudahkan sekali, dengan tujuan lebih jauh lagi adalah platform yang
terintegrasi, koneksi yang lebih efisien sebab tidak perlu satu per satu
terhubung ke platform.
Fastpayment
Melalui
BI Fast, pembayaran ritel menggunakan berbagai instrumen dan kanal secara real time dan waktu operasional 24 jam
selama 7 hari.
Untuk
memastikan perkembangan digitalisasi dalam ekosistem ekonomi dan keuangan digital
yang kondusif, Bank Indonesia (BI) memiliki blueprint atau visi Sistem
Pembayaran Indonesia (SPI) pada 2025. Kelima visi itu merupakan respons
terhadap tantangan transaksi digital.
Tantangan transaksi digital |
1. Dukung integrasi ekonomi
keuangan digital nasional
Dengan
mendukung integrasi ekonomi keuangan digital nasional, fungsi bank sentral
dalam proses peredaran keuangan, kebijakan moneter, stabilitas sisten keuangan,
dan inklusi keuangan dapat berjalan.
2. Dukung digitalisasi perbankan
Dukungan
digitalisasi itu diberikan oleh BI sebagai lembaga utama dalam ekonomi keuangan
digital. Baik melalui open banking maupun pemanfaatan teknologi digital dan
data dalam sektor bisnis tersebut.
3. Jamin interlink antara fintech
dan perbankan
Dengan
begitu, risiko shadow banking dapat dihindari. Caranya dengan memanfaatkan
pengaturan teknologi digital seperti API (Application Programming Interface),
kerja sama bisnis, dan kepemilikan usaha.
4. Jamin keseimbangan
Yang
dijamin ialah keseimbangan antara inovasi dan perlindungan konsumen, integritas
dan stabilitas, dan persaingan usaha yang sportif lewat implementasi KYC (Know
Your Customer), serta Anti-Money Laundering/Combating the Financing of
Terrorism (AML/CFT), kewajiban keterbukaan data/informasi/bisnis publik, dan
penerapan teknologi regulasi (regtech) dan suptech dalam proses wajib lapor,
regulasi, dan pengawasan.
5. Jamin kepentingan nasional dalam
ekonomi keuangan digital antarnegara
Visi
ini diraih lewat kewajiban memproses semua transaksi domestik di dalam negeri.
KENDALA TRANSAKSI DIGITAL
“mbak bisa pakai dompet digital kan bayarnya?”
“oh bisa kak”
3 menit kemudian
“Aduh maaf kak, jaringannya eror terus”
Percakapan
seperti ini tidak hanya terjadi di pedesaan atau kota kecamatan. Bahkan di
ibukota saja beberapa kali mengalami. Infrastruktur khususnya jaringan internet
adalah tumpuan utama transaksi digital. Yang tak kalah penting dari internet
adalah akses listrik. Saya pernah mengalami sendiri ketika daerah saya
mengalami pemadaman listrik karena gangguan selama 3 hari. Kebiasaan cashless tidak bisa dilakukan sama
sekali.
SIMPULAN
Kemajuan bangsa sangat terkait dengan kemajuan keuangan. Salah satu jalannya adalah dengan transaksi digital yang berprinsip cepat, mudah, murah, aman, dan andal, dengan tetap memerhatikan perluasan akses dan perlindungan konsumen.
Post Comment
Post a Comment
Terima kasih sudah berkunjung.
Komentar berisi LINK HIDUP akan DIHAPUS.
^^ @Innnayah