Ketika Anak Milenial Malam Mingguan di Solo Nonton Wayang Orang Sriwedari

October 21, 2017
Sebuah pesan masuk ke handphoneku, oh isinya itenerary selama dua hari di Solo. Mas Yosh yang memang asli dari kota tersebut memberikan ide mengisi waktu berfaedah untuk mengeksplore Solo. Dari semua list tempat yang harus aku kunjungi, terselip wayang orang Sriwedari. Aku exited banget, begitupun dengan Mahendra travelmate aku. Kami sepakat bakal nonton live wayang orang yang sudah legendaris itu tepatnya pada malam minggu.
Wayang orang sriwedari


Warisan budaya yang bikin miris

Selama ini, yang aku dengar jusru berita negatif soal wayang orang sriwedari. Tentang sengketa tanah, tentang bagaimana pertunjukan harus tetap jalan meski yang nonton cuma sebaris. Bahkan dalam sebuah puisi seniman asal Solo, Widji Tukul menggambarkan dengan ya...begitulah.

Mas Yosh bilang, wayang sriwedari bakal ditutup akhir tahun 2017 ini. Apakah ini benar akhir dari sebuah legenda di Solo? Jika benar, artinya aku dan Mahendra memang harus kesana menyaksikan langsung sisa-sisa yang ada. Kami anak milenial, bahasa jawa halus saja ngga sepenuhnya paham...tapi ini lho yang pernah dibanggakan nenek moyang kami.

Wayang orang sriwedari
Layar masih ditutup
Bayangin aja, wayang orang Sriwedari sudah ada sejak 1911 meski baru mulai dikomersilkan pada 1922. Jaman itu, hiburan masih minim banget kan? Apalagi wayang sebelumnya dimonopoli kalangan istana. Nggak heran jika sambutan masyarakat sangat hebat pas wayang orang disiarkan di radio Soloche radio vereeniging.

Gedung tua yang aku masuki malam minggu kemarin telah berdiri sejak 1930. Rasanya simbahku saja belum lahir kala itu. Pasti dulu belum ada kursi seperti sekarang, belum ada toilet layak, dan tidak ada kipas angin di beberapa penjuru. Bahkan konon masyarakat yang tidak dapat masuk ke dalam gedung bisa ngintip dari pagar kawat.

Wayang Sriwedari Jaman Now

Motor melaju santai menyusuri jalan brigjen slamet riyadi, ah ternyata malam minggu di Solo bisa senyaman ini. Tak ada ketergesaan, macet, klakson berlebihan, selooow. Biar nonton tenang, kami makan dulu di warung tenda pinggir jalan yang menjual aneka penyetan. Bagiku, makan itu ngga harus di tempat terkenal meski lagi di luar kota hahhaa. Intinya biar ngga laper, iya kan? Bahkan aku lahap banget makan penyet terong yang sepertinya lebih enak dari biasanya. Mungkin cuma perasaanku.

Gedung wayang orang sriwedari lokasinya sekitar 100m dari pintu gerbang taman sriwedari. Motor sih masuk saja, ada parkirannya kok di sana. Jam menunjukkan pukul 19.45, wayang sebentar lagi mulai. Di teras gedung nampak para penonton sudah menunggu pintu dibuka. Aku dan Mahendra berjalan menuju loket yang berada di sisi kanan gedung. 

Lakon malam itu ‘geger maespati’ yang entah apaan itu belum kami ketahui. Tiap malam memang judulnya ganti-ganti, aku baca poster jadwalnya selama sebulan pas lagi jalan di kampung batik Laweyan. Biar lebih jelas, coba lihat video ini saja ya.

Tak berapa lama, pintu teater dibuka. Pintu gedung maksudnya ya, dengan bapak-bapak berkumis sebagai penyobek karcis. Tidak ada mba-mba layaknya bioskop kekinian, karcis saja mirip yang di parkiran. Begitulah kesan otentik jadul di sriwedari yang aku tangkap di pintu depan. Oiya, untuk vip harga karcisnya 10.000 rupiah.

Gedung wayang orang sriwedari
Penonton malam minggu ramai
Sebenarnya tak ada beda mencolok antara vip dan bukan ya, cuma beda di kursi saja. Kalau kelas biasa harganya 3000 ...itu kursinya kayu. Vip sih kursi empuk, tapi kalau dapatnya di barisan pinggir ya kurang nyaman juga. Tapi tenang, karena yang nonton ga penuh kamu bisa bergeser kemanapun yang kamu mau saat lampu sudah dimatikan. Bahkan Mahendra naik ke balkon lantai 2 biar mudah mengambil foto. 

Di sebelah kiri panggung terdapat layar yang berisi ringkasan kisah yang sedang diputar. Pakai bahasa Indonesia lho, coba sekalian bahasa Inggris ya. Gitu sih kalau kata Mahendra, kan mengantisipasi ada bule yang nonton dan pengen tahu. Aku padahal berharap ada subtitle sekalian wkwkw. Tembang mengalun dengan syahdu menyapa penonton yang malam itu bikin gedung ngga kerasa suwung-suwung amat. Gamelan, sinden, bahkan rebab bisa aku saksikan langsung di depan mata tanpa tabir. Sungguh hal yang sangat langka dan bakal jadi cerita untuk anak cucu.

Sinden solo
Mba sinden

Tertidur saat nonton wayang

Karena posisi duduk kami kurang nyaman, aku dan mahendra bergeser ke sisi kanan panggung. Pertunjukan sudah dimulai, prabu dasamuka muncul di panggung. Mahendra mulai memainkan shutternya, cekrak-cekrek pakai flash pula hahhaa. Untung ngga ada yang keberatan sih sepertinya. Sementara itu, aku makin ngga terkontrol. Antara ruangan yang gelap, gamelan, dan bahasa jawa halus yang samar, aku terlelap. 
Wayang orang sriwedari
Aduh suaranya pelan


Mataku terbuka sempurna saat para punakawan jenaka muncul. Seluruh gedung ikut tertawa, aku sih juga ikutan tertawa ya...meski ngga begitu paham juga ehehe. Mungkin kalau microfon yang menggantung itu diganti microfon yang nempel dekat mulut bakal lebih enak dan ngga bikin ngantuk.

Gedung Wayang Sriwedari Akan dibuat Modern

Gedung wayang orang sriwedari memang akan ditutup, tapi untuk dibangun yang lebih modern berkelas internasional. Yeahh, seru kan kalau anak milenial kayak aku bisa menikmati sepenuhnya pertunjukan tanpa kepenggal rasa ngantuk. 

Solo itu sudah identik banget dengan budaya jawa, makanya disebut the spirit of Java. Dari Jogja ya deket, jadi kalau ada gedung wayang orang baru semacam opera di luar negeri gitu pasti keren. Gedung yang sekarang memang sudah tak representatif buat generasiku. 

Kencan di wedhangan

Setelah berganti tempat duduk 4 kali, pertunjukan wayang orang geger maespati tepat selesai pada pukul 22.30. Penonton keluar dengan tertib, termasuk aku dan Mahendra yang sepertinya lapar lagi. Tidak ada toko makanan atau warung tenda di sekitar gedung wayang. Kami kembali menyusuri kota Solo yang lengang dan agak dingin sebelum berhenti secara asal di wedangan. 

Wedangan solo
Solo street food alias wedangan
Wedangan itu sebutan untuk angkringan di Solo. Namanya juga malam minggu, banyak kaum muda yang nongkrong-nongkrong juga. Milo hangat dan sebungkus nasi mengisi kekosongan perutku. Yang lucu, bungkus nasi kucing punya Mahendra terbuat dari lembaran LKS matematika yang isinya soal-soal bangun ruang. Ngajakin banget belajar di malam minggu. Hampir tengah malam, lagu-lagu random masih kami nyanyikan menemani perjalanan hingga sampai di Pabelan.

Not bad, bahkan aku menyarankan untuk segera ke gedung wayang orang Sriwedari jika kamu belum pernah kesana. Sebelum gedungnya diganti lho jadi lebih kekinian. Urusan ngga ngerti bahasa, ya dimaklumi saja ya. Mungkin satu atau dua karcis yang kita beli bernilai tinggi untuk ketahanan sebuah tradisi. Maturnuwun Solo.
29 comments on "Ketika Anak Milenial Malam Mingguan di Solo Nonton Wayang Orang Sriwedari"
  1. Nguri uri budaya jawi..
    Bagoossss...
    Cemungut...

    ReplyDelete
  2. Aihhh sama travelmate bahagianyaaa

    ReplyDelete
  3. aih sindennya bisa bikin gagal fokus cantiknya

    ReplyDelete
  4. Huaaah, aku udah sedih baca mau ditutup tapi ternyata buat renovasi gedung yah.. Alhamdulillah masih ada kan kalo gitu.. Dulu zaman masih kecil aku pas ke Solo sering diajak nonton wayang orang sama ortu dan memori itu gak terlupakan bangetlah.. :)

    ReplyDelete
  5. Berasa wisata sejarah juga ya jadinya, budaya yang bertahan dari zaman ke zaman ya.

    ReplyDelete
  6. Budaya yg sebenarnya syarat pesan yg sepi penggemar...sayang

    ReplyDelete
    Replies
    1. di Pekalongan juga jarang tayang, mahal eheheh

      Delete
  7. Jyaaaa solo, uda lama ga ke solo...
    Pingin ih liat pertunjukan wayang orang, jd inget kata guru bahasa indo, sebenernya orang barat knp bisa maju salah satunya karena sering liat pertunjukan teater, nah mustinya bangsa kita juga kayak gini nih memperkaya jenis tontonan dari berbagai jenis pilihan salah satunya yg menampilkan unsur kebudayaan, bukan cuma yutuban tok

    ReplyDelete
    Replies
    1. karena sudah terkesan jadul jadi mungkin orang males ya Nit

      Delete
  8. Suka alinea terakhir... Karcis seharga 10rb utk ketahanan sebuah tradisi. Kl d Jkt, dan sptnya di Kab. jg malah para profesional senior dan pejabat yg sesekali menggantikan peran mereka, "Wayang/Ketoprak Pejabat"... Tradisi2 lokal yg nyaris dilupakan di tanah air, popularitas yg bergeser dgn kesenian yg kekinian, tapi tradisi sll mdpt applause meriah di luar negri, sll punya panggung tersendiri di mata dunia...

    ReplyDelete
    Replies
    1. aku malah belum pernah nonton langsung yang ketoprak pejabat itu. coba diramaikan ya

      Delete
  9. Dulu di TVRI wayang kayak gini sering tayang kan. Dan aku gak pernah mau lihat. Sungguh menakutkan! makanya sampe sekarang agak gimanaa gitu dengan orang dandan make up putih kayak gitu. Kayak hantu hahaha

    omnduut.com

    ReplyDelete
  10. Keren banget vlognya. Pake aplikasi apa nih innayah? trus pake hp atau kamera apa?

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasi mba Vika, itu pakai iphone dan edit pakai imovie

      Delete
  11. Ooh sempat sedih pas tahu mau ditutup krn taman sriwedari pernah dilewati tp blm pernah menyaksikan sendratarinya. Semoga nantinsetelah gedung di renov peminatnya makin banyak ya

    ReplyDelete
  12. kamu ke Solo tapi nggak makan bluder kejunya Primadonna?
    favoritku banget itu
    wajib coba kalau suka keju juga

    ReplyDelete
  13. wah padahal yang keq gini ya harus dijaga dan dilestarikan tapi apalah daya ,,,

    ReplyDelete
  14. kalau pertunjukan budaya seperti inii ditampilkan diluar negeri pasti keren bangat ini yach. semoga setelah direnovasi banyak pengunjung yang berdatangan. Aminnn

    ReplyDelete
  15. ya ampun tiketnya murmer banget,,

    ReplyDelete
  16. Ya ampuuuun pengen nonton wayang lagi nay... aku dari kecil tu suka diajak nonton saya eyang kakung,kalo ga gt sama pakde itu sampe SMP apa SMA ya terakhir... dan emang aku suka nonton wayang orang gt... ah kangeeeen masa-masa itu...

    ReplyDelete
  17. Jiaaaah kakinya pada diangkat ya kalau duduk. Itu mbak sinden mancung cantik kok nggak viralin. Hahahaha Sinden cantik bla bla bla

    ReplyDelete
  18. kenapa wayang sriwedari bakal ditutup akhir tahun 2017 kan seharusnya sebagai orang indonesia kita harus melestarikan kebudayaan kita. indonesia kan kaya akan kebudayaan jadi sebagai penerus bagsa seharuskan melestarikan dan menjaga bukan malah menutupnya

    ReplyDelete
  19. Selain Sriwedari di Solo, pentas wayang orang setahu saya hanya ada di Semarang (Ngesti Pandowo) setiap Sabtu malam, dan di Jakarta (WO Barata).
    Semoga generasi Milenial makin banyak yang suka

    ReplyDelete

Terima kasih sudah berkunjung.
Komentar berisi LINK HIDUP akan DIHAPUS.

^^ @Innnayah

Auto Post Signature

Auto Post  Signature