Review: Novel negeri 5 menara memperbaiki Image Pesantren

December 03, 2012
Paperback: 432 pages
Published:  August 2009 by Gramedia (first published July 2009)
ISBN: 139789792248616
edition language: Indonesian
original title: Negeri 5 Menara
urlhttp://negeri5menara.com/
seriesNegeri 5 Menara #1
characters: Alif, Raja, Atang, Said, Dulmajid, Baso, Randai, Sarah, Amak, Kiai Rais, Ustad Salman, Tyson
literary awardsKhatulistiwa Literary Award Nominee for Fiksi (2010), Penulis dan Buku Fiksi Terfavorit, Anugerah Pembaca Indonesia (2010)

Sinopsis:
Alif lahir di pinggir Danau Maninjau dan tidak pernah menginjak tanah di luar ranah Minangkabau. Masa kecilnya adalah berburu durian runtuh di rimba Bukit Barisan, bermain bola di sawah berlumpur dan tentu mandi berkecipak di air biru Danau Maninjau.
Tiba-tiba saja dia harus naik bus tiga hari tiga malam melintasi punggung Sumatera dan Jawa menuju sebuah desa di pelosok Jawa Timur. Ibunya ingin dia menjadi Buya Hamka walau Alif ingin menjadi Habibie. Dengan setengah hati dia mengikuti perintah Ibunya: belajar di pondok.
Di kelas hari pertamanya di Pondok Madani (PM), Alif terkesima dengan “mantera” sakti man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti sukses.
Dia terheran-heran mendengar komentator sepakbola berbahasa Arab, anak menggigau dalam bahasa Inggris, merinding mendengar ribuan orang melagukan Syair Abu Nawas dan terkesan melihat pondoknya setiap pagi seperti melayang di udara.
Dipersatukan oleh hukuman jewer berantai, Alif berteman dekat dengan Raja dari Medan, Said dari Surabaya, Dulmajid dari Sumenep, Atang dari Bandung dan Baso dari Gowa. Di bawah menara masjid yang menjulang, mereka berenam kerap menunggu maghrib sambil menatap awan lembayung yang berarak pulang ke ufuk. Di mata belia mereka, awan-awan itu menjelma menjadi negara dan benua impian masing-masing. Kemana impian jiwa muda ini membawa mereka? Mereka tidak tahu. Yang mereka tahu adalah: Jangan pernah remehkan impian, walau setinggi apa pun. Tuhan sungguh Maha Mendengar.
Review:
Novel ini sangat inspiratif dengan Man Jadda wa Jadda sebagai tag line nya. Penggambaran yang jelas, setting yang menarik, membuat saya merasa ini tulisan dari penulis tempo doeloe. Kehidupan pesantren dan remajanya sesuai sekali dengan realita. Saya yakin jika saya laki-laki dan masih cukup usia pasti pengen banget ke ponpes Gontor setelah baca novel ini.
Peristiwa pengeboman yang dilakukan oleh beberapa alumni pesantren banyak membuat orang bertanya-tanya. Jadi sebetulnya apakah yang diajarkan di pesantren? Benarkah sekedar dogma agama yang tak bisa dipertanyakan keabsahannya? Bila tidak ada sesuatu yang salah, mengapa proses pendidikan yang dijalankan pesantren segalanya serba tertutup bagi publik?
Lantas, apa lagi yang menarik dari kehidupan pesantren? Man jadda wajada. Siapa yang bersungguh-sungguh pasti akan sukses. Mantra yang diucapkan sejak santri pertama kali menginjakkan kakinya di pesantren terus-menerus didengungkan oleh kyai pemilik pesantren, para ustadz, dan senior setiap hari, sepanjang tahun hingga sang santri lulus.
Bukan hanya mantra ini, pendidikan adalah sebuah proses perjuangan yang kalau perlu dilalui dengan melampaui batas kemampuan yang dimiliki oleh seorang santri. Tengoklah masa-masa menjelang ujian. Bila di sekolah umum para guru “menebar teror” ketakutan resiko tidak lulus, sehingga sebagian besar dari mereka menyarankan siswanya untuk mencontek saat ujian, pesantren dalam novel ini menciptakan iklim di mana ujian adalah sebuah perayaan. Semua orang harus terlibat di dalamnya. Para ustadz tanpa segan mendatangi santri sampai ke kamar asrama untuk mengecek kesiapan santri dalam menghadapi ujian. Memberikan materi yang dirasa belum cukup dipahami di dalam kelas, atau hanya sekedar membesarkan hati santri yang kebat-kebit akibat tidak percaya diri menghadapi ujian.
Post Comment
Post a Comment

Terima kasih sudah berkunjung.
Komentar berisi LINK HIDUP akan DIHAPUS.

^^ @Innnayah

Auto Post Signature

Auto Post  Signature